Ecce Ancila

Domini

[ aku ini hamba tuhan ]

Kisahku dimulai di kota Jakarta. Seperti halnya kita tahu, Jakarta sebagai ibukota tentu memiliki banyak umat termasuk umat pengikut Kristus. Sehingga banyak bermunculan paroki-paroki baru. Namun yang sangat disayangkan adalah diantara banyaknya paroki di ibukota namun para imam yang ada hanya sedikit. Memang di ibukota ini ada sebuah sekolah untuk pendidikan calon imam, yaitu Seminari Wacana Bhakti. Namun masih banyak sekolah lain yang memiliki kualitas yang lebih baik.

Kini dua tahun hidupku dari tahun ini telah kuberanikan diri untuk menapaki jalan panggilan Allah Bapa. Aku tak tahu apa yang membuatku hingga berani untuk masuk ke seminari. Mungkin aku termakan oleh omonganku sendiri. Layaknya sebuah kertas yang tertiup angin yang mudah berterbangan hingga kemana-mana, bahkan ke tempat yang tak layak. Mungkin pembicaraan bersama kedua sahabatku di masa SD ku dulu menjadi kenyataan.

Di kota Gudeg tempat aku dilahirkan dan awal dari pembicaraanku bersama kedua sahabatku. Teriknya matahari disiang itu begitu menyengat hingga dalam perjalanan pulang dari sekolahku sangat terasa melelahkan. Sepeda butut punya kakekku terus kupacu bersama kedua sahabatku yang menggunakan sepeda lebih bagus.Walaupun begitu hal ini tak membuat adanya perbedaan dalam persahabatan diantara kami. Disebuah gapura kecil yang berada dijalan daerah desaku, aku bersama kedua sahabatku berhenti untuk minum dan menikmati hamparan sawah yang ada dikanan kiri kami. Panasnya siang itu tak menjadi masalah karena gapura itu memiliki atap untuk kami berteduh sehingga terhindar dari teriknya matahari. Dalam peristirahatan ini sejenak kami terdiam. Sempat terdengar kicauan burung yang ada didaerah sawah sekitar kami. Sesaat kemudian salah satu sahabatku menanyakan cita-citaku. Dalam lamunan tiba-tiba aku tersentak, karena aku pun bingung akan cita-citaku saat itu. Aku mengira mungkin sahabatku menanyakan aku seperti itu berhubung kami sudah kelas 6 SD dan sudah mau lulus. Kemudian aku menjawab “aku ora ngerti pengen dadi opo”, dalam Bahasa Indonesia berarti “aku tidak mengerti mau jadi apa”. Kedua sahabatku pun hanya tertawa hingga memecahkan kesunyian yang tadi sempat kami alami. Suasana kembali hening ketika aku mencoba menanyakan hal yang sama kepada salah satu sahabatku. Ketika akan mendengar aku sedikit takut karena mungkin saja Sahabatku itu mempunyai cita-cita yang begitu tinggi. Setelah kudengar dan kusimak ternyata sahabatku itu juga tak memiliki, sebetulnya bukan tidak memiliki tetapi belum mempunyai cita-cita.

Begitu banyak hal yang kami bicarakan, tak sadar bahwa kicauan burung telah menghilang berganti dengan kunang-kunang yang berlalu-lalang disekitar bagaikan ingin ikut ambil bagian dalam perbincangan diantara kami. Kemudian kami mulai menggenakan tas ransel kami dan mulai mengayuh lagi sepeda kami. Sesampai dirumah kucoba masuk dapur ternyata sudah tersedia semangkok mie rebus yang masih mendidih, segera aku mandi dan ingin cepat-cepat menyantap mie rebus tersebut. Pada hari itu sekitar pukul 11 malam aku sudah ingin tidur, dalam lamunan malam yang begitu dingin aku mulai membayangkan kembali pembicaraan aku dengan kedua sahabatku, dan yang masih terngiang dalam telingaku adalah ketika aku dan kedua sahabatku mencoba membuat pernyataan bahwa setelah lulus SMP nanti kami akan masuk keseminari yang berbeda tanpa ada komunikasi diantara kami. Maksudnya kami masuk seminari sesuai panggilan dari Bapa saja. Sehingga ini benar-benar bersifat pribadi.

Perjuanganku selama tiga hari dalam menghadapi ujian sekolah telah kudapatkan hasilnya. Aku lulus dengan nilai yang tak begitu jelek, namun aku bangga. Aku kini berhadapan dengan dua pilihan yaitu apakah aku akan masuk ke Seminari Wacana Bhakti atau SMA Pangudi Luhur 2, karena di dua sekolah itu aku sudah test dan aku diterima. Awalnya aku hanya mencoba mendaftar di Seminari Wacana Bhakti, sedangkan SMA Pangudi Luhur 2 hanya aku jadikan sebagai cadangan. Sehingga aku tak memiliki sekolah pilihanku. Namun pada akhirnya aku memberanikan diriku untuk masuk ke Seminari Wacana Bhakti. Ditengah metropolitan kala dunia menawarkan surganya aku telah memilih satu jalan yaitu berserah kepada Allah Bapa. Tak tahu pantaskah aku menjadi gembala-Nya tetapi aku yakin dan tegar bahwa kuasa kasih-Nya kan selalu menyertaiku.

Selama dua tahun ini aku baru tersadar bahwa aku telah termakan omonganku sendiri ketika kelas 6 SD dulu. Aku sadar mukjizat itu nyata. Thx GOD.

0 Response to " "